23.05
Awalnya karinding adalah alat yang digunakan oleh
para karuhun untuk mengusir hama di sawah—bunyinya yang low decible
sangat merusak konsentrasi hama. Karena ia mengeluarkan bunyi tertentu,
maka disebutlah ia sebagai alat musik. Bukan hanya digunakan untuk
kepentingan bersawah, para karuhun memainkan karinding ini dalam ritual atau upaca adat. Maka tak heran jika sekarang pun karinding masih digunakan sebagai pengiring pembacaan rajah. Bahkan, konon, karinding
ini digunakan oleh para kaum lelaki untuk merayu atau memikat hati
wanita yang disukai. Jika keterangan ini benar maka dapat kita duga
bahwa karinding, pada saat itu, adalah alat musik yang
popular di kalangan anak muda hingga para gadis pun akan memberi nilai
lebih pada jejaka yang piawai memainkannya. Mungkin keberadaannya saat
ini seperti gitar, piano, dan alat-alat musik modern-popular saat ini.
Beberapa sumber menyatakan bahwa karinding telah ada bahkan sebelum adanya kecapi. Jika kecapi telah berusia sekira lima ratus tahunan maka karinding diperkirakan telah ada sejak enam abad yang lampau. Dan ternyata karinding
pun bukan hanya ada di Jawa Barat atau priangan saja, melainkan
dimiliki berbagai suku atau daerah di tanah air, bahkan berbagai suku di
bangsa lain pun memiliki alat musik ini–hanya berbeda namanya saja. Di
Bali bernama genggong, Jawa Tengah menamainya rinding, karimbi di
Kalimantan, dan beberapa tempat di “luar” menamainya dengan zuesharp (
harpanya dewa Zues). Dan istilah musik modern biasa menyebut karinding
ini dengan sebutan harpa mulut (mouth harp). Dari sisi produksi suara
pun tak jauh berbeda, hanya cara memainkannya saja yang sedikit
berlainan; ada yang di trim (di getarkan dengan di sentir), di tap (
dipukul), dan ada pula yang di tarik dengan menggunakan benang.
Sedangkan karinding yang di temui di tataran Sunda dimainkan dengan cara di tap atau dipukul.
Material yang digunakan untuk membuat karinding (di wilayah Jawa Barat), ada dua jenis: pelepah kawung dan bambu. Jenis bahan dan jenis disain bentuk karinding
ini menunjukan perbedaan usia, tempat, dan sebagai perbedaan gender
pemakai. Semisal bahan bambu yang lebih menyerupai susuk sanggul, ini
untuk perempuan, karena konon ibu-ibu menyimpannya dengan di tancapkan
disanggul. Sedang yang laki-laki menggunakan pelapah kawung dengan
ukuran lebih pendek, karena biasa disimpan di tempat mereka menyimpan
tembakau. Tetapi juga sebagai perbedaan tempat dimana dibuatnya, seperti
di wilayah priangan timur, karinding lebih banyak menggunakan bahan bambu karena bahan ini menjadi bagian dari kehidupannya.[1]
Karinding umumnya berukuran: panjang 10 cm dan lebar
2 cm. Namun ukuran ini tak berlaku mutlak; tergantung selera dari
pengguna dan pembuatnya—karena ukuran ini sedikit banyak akan
berpengaruh terhadap bunyi yang diproduksi.
Karinding terbagi menjadi tiga ruas: ruas pertama menjadi tempat mengetuk karinding dan menimbulkan getaran di ruas tengah. Di ruas tengah ada bagian bambu yang dipotong hingga bergetar saat karindingdiketuk dengan jari. Dan ruas ke tiga (paling kiri) berfungsi sebagai pegangan.
Cara memainkan karinding cukup sederhana, yaitu dengan menempelkan ruas tengah karinding di depan mulut yang agak terbuka, lalu memukul atau menyentir ujung ruas paling kanan karinding dengan satu jari hingga “jarum” karinding
pun bergetar secara intens. Dari getar atau vibra “jarum” itulah
dihasilkan suara yang nanti diresonansi oleh mulut. Suara yang
dikeluarkan akan tergantung dari rongga mulut, nafas, dan lidah. Secara
konvensional—menurut penuturan Abah Olot–nada atau pirigan dalam
memainkan karinding ada empat jenis, yaitu: tonggeret, gogondangan, rereogan, dan iring-iringan.
0 komentar:
Posting Komentar