Endang Sugriwa alias Abah Olot meyakini, alat musik tradisional sebagai bagian dari kebudayaan suatu suku atau bangsa harus dilestarikan. Ini demi kebertahanan identitas masyarakat suku atau bangsa tersebut. Tahun 2003, ketika karinding, alat musik tradisional Sunda, dikabarkan punah, ia terperangah. ”Saya punya tanggung jawab,” katanya.
Abah Olot merasa berkewajiban mencegah kepunahan karinding. Sejak dari kakek buyutnya, keahlian membuat dan memainkan karinding diwariskan dalam keluarga. Ia lalu meninggalkan pekerjaannya sebagai perajin mebel kayu dan bambu di Cipacing, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Ia kembali untuk menekuni warisan keluarga.
”Saya generasi selanjutnya yang mewarisi keahlian itu setelah ayah saya (Abah Entang) tidak bisa lagi membuat karinding karena matanya rabun,” kata Abah Olot di Desa Cimanggung, Kecamatan Parakan Muncang, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Di rumah bambu itu, Abah Olot dibantu lima perajin membuat karinding dan alat musik lain berbahan bambu. Pada ambin di teras rumah tersimpan seperangkat instrumen, berupa celempung (sejenis kecapi), toleat (seperti seruling), dan kokol (mirip kulintang). Instrumen itu digunakan grup musik tradisional Giri Kerenceng pimpinan Abah Olot.
Semua alat musik tradisional itu hampir punah. Namun, yang menjadi perhatian utamanya adalah karinding. Alasannya, hanya sedikit warga yang bisa membuat karinding.
Karinding mulanya terbuat dari pelepah aren dengan panjang 10-20 sentimeter. Namun dalam perkembangannya, pelepah aren semakin langka karena banyak warga yang menebangi pohon aren. Alasan mereka, pohon itu tidak lagi berbuah. Maka dari itu, pelepah aren pun terbuang, tidak sempat tua dan mengering.
Bambu lalu menjadi bahan utama karinding. Syaratnya, umur bambu minimal dua tahun. Bambu dipotong, dihaluskan, dan dibagi menjadi tiga ruas.
Ruas pertama menjadi tempat mengetuk karinding dan menimbulkan getaran di ruas tengah. Di ruas tengah ada bagian bambu yang dipotong hingga bergetar saat karinding diketuk dengan jari. Agar bisa menimbulkan suara, ruas tengah karinding diletakkan di mulut, diapit bibir atas dan bawah.
Sekilas bunyi karinding serupa lengkingan serangga di sawah. Bunyi itu berasal dari resonansi di mulut saat karinding digetarkan. Untuk mengatur tinggi-rendah nada, pemain harus lincah mengatur napas dan ketukan jari. Alat semacam itu juga ada di Bali, disebut genggong. Namun, cara memainkannya berbeda. Genggong ditarik benang.
Abah Olot bercerita, karinding mulai jarang dimainkan selepas tahun 1970-an. Maraknya alat musik modern memengaruhi selera musik masyarakat sampai ke kampung. Karinding, yang dahulu sering dimainkan pada acara pernikahan atau sunatan, mulai menghilang.
Tahun 1940-1960-an, karinding akrab dalam kehidupan masyarakat Sunda. Karinding dimainkan untuk menghibur petani seusai memanen padi atau saat menjemur hasil panen. Malam harinya karinding dimainkan sebagai wujud sukacita atas hasil panen.
”Karinding juga dimainkan petani saat menjaga sawah. Serangga sawah menyingkir apabila karinding berbunyi,” katanya.
Memasuki era 1990-an, karinding seperti ditelan bumi. Minimnya publikasi tentang karinding menjadi salah satu faktor redupnya alat musik tradisional itu. Karinding hanya lestari dalam sejumlah kecil keluarga, termasuk keluarga Abah Olot.
Sejak usia 7 tahun, Abah Olot belajar memainkan dan membuat karinding dari ayah dan pamannya. Keahlian itu dia tinggalkan saat beranjak dewasa. Abah Olot sempat menjadi pengojek dan perajin mebel sebelum meneruskan warisan keahlian keluarga.
”Istilahnya ulah kasilih ku junti, jangan melupakan adat-istiadat,” katanya.
Mulai bangkit
Namun, membangkitkan karinding tak mudah. Bunyi karinding dianggap tak sesuai dengan perkembangan musik. Saat awal membuat karinding, Abah Olot memberikan cuma-cuma kepada siapa pun yang mau menerima.
Ajakannya kepada pemuda di kampung untuk memainkan karinding ditolak. ”Orang tua dan anak muda beranggapan tak ada gunanya memainkan karinding,” katanya.
Namun, Abah Olot terus mempromosikan karinding ke berbagai daerah. Tahun 2008, pada perayaan ulang tahun Kota Bandung, dia bertemu komunitas kreatif kaum muda Bandung yang tergabung dalam Commonrooms.
”Mereka minta suplai karinding untuk dimainkan di depan publik,” kata Abah Olot.
Pada tahun yang sama dibentuk kelompok musik Karinding Attack beranggota delapan orang. Personel Karinding Attack bukan seniman tradisional Sunda. Mereka berasal dari komunitas musik underground dan death metal yang sering dianggap ”budak baong” (anak nakal). Abah Olot justru mengajari mereka memainkan karinding.
Hasilnya, pada berbagai pertunjukan musik cadas dan punk, seperti Bandung Deathmetal Festival pada Oktober 2009, karinding turut tampil. Bermula dari komunitas death metal, karinding mulai populer di kalangan kaum muda.
Banyak di antara mereka lalu tertarik dan ingin belajar memainkan karinding. Maka, setiap Rabu dan Jumat, di tempat Abah Olot dibuka latihan bagi mereka yang ingin belajar karinding.
Kini, satu karinding dihargai Rp 50.000. Pesanan karinding mulai mengalir, bahkan pernah dalam sepekan Abah Olot harus memenuhi pesanan 100 karinding.
Alat musik tradisional yang sempat dikhawatirkan punah itu kembali mewabah. Hampir semua daerah di Jawa Barat mempunyai kelompok musik karinding. Pemainnya bukan orang tua, tetapi anak muda dengan kreasi lagu modern.
Nama kelompok mereka pun ”segar”, seperti Markipat (kependekan dari Mari Kita Merapat), Karmila (singkatan dari Karinding Militan), Republik Batujajar dari Kabupaten Bandung Barat, dan Karinding Skateboard yang dimainkan komunitas skateboard.
Karinding juga dimainkan dalam Bandung World Jazz Festival, Desember 2009. Meski bisa dikatakan tidak lagi dimainkan di sawah, karinding justru mencuat pada festival jazz dunia diiringi musik elektrik dan instrumen modern, seperti gitar, terompet, dan drum. Maka, mengalunlah lagu-lagu Sunda dalam harmoni jazz dan karinding.
Di balik semaraknya kembali karinding, ada Abah Olot yang tetap setia di ”bengkelnya”. Dia tetap tekun menghaluskan bambu dan menjaga identitas masyarakat Sunda.
This is default featured slide 1 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 2 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
Rabu, 12 Maret 2014
Kesenian Lengser
21.28
No comments
» » Panggung Hiburan Rakyat Hadirkan Kesenian Lengser
›
›
›
›
BREBES
Panggung Hiburan Rakyat Hadirkan Kesenian Lengser
Wednesday, 15 January 2014 -
756 Views
– Brebes – Meski kesenian
lengser diakui bukan asli dari daerah, mayoritas penduduk Kecamatan
Salem Brebes Jawa Tengah sering mementaskannya dalam berbagai acara. Hal
inilah yang menjadikan kesenian Lengser ini tidak terlalu asing di
mata penduduk disana.
Seperti yan
» » Panggung Hiburan Rakyat Hadirkan Kesenian Lengser
›
›
›
›
BREBES
Panggung Hiburan Rakyat Hadirkan Kesenian Lengser
Wednesday, 15 January 2014 -
756 Views
– Brebes – Meski kesenian
lengser diakui bukan asli dari daerah, mayoritas penduduk Kecamatan
Salem Brebes Jawa Tengah sering mementaskannya dalam berbagai acara. Hal
inilah yang menjadikan kesenian Lengser ini tidak terlalu asing di
mata penduduk disana.
Seperti yan
Meski kesenian lengser diakui bukan asli dari daerah, mayoritas penduduk Kecamatan Salem Brebes Jawa Tengah sering mementaskannya dalam berbagai acara. Hal inilah yang menjadikan kesenian Lengser ini tidak terlalu asing di mata penduduk disana.
Seperti yang dilakukan saat menyambut kedatangan Bupati Brebes Hj Idza Priyanti dan jajarannya dalam Panggung Hiburan Rakyat belum lama ini.
Peran Lengser sendiri dilakoni oleh seorang pria dengan berdandan dan bergaya layaknya seorang kakek tua, karena peranannya sebagai sosok panutan masyarakat yang dituakan, dan juga sebagai simbol penasehat dalam masyarakat, maka sosok Lengser yang tepat dijadikan sebagai sosok penyambut tamu.
“ Kehadiran Ki Lengser atau Mang lengser memang menarik perhatian penonton atau tamu undangan. Begitu rombongan Bupati hadir di tempat panggung hiburan, Lengser-lah yang menyambut dan mengarahkan mereka ke kursi kehormatan sambil menarikan bebagai gaya jaipong,” ungkap salah seorang tokoh masyarakat disana.
Koordinator Seksi Hiburan, Seni dan Budaya pada peringatan Hari Jadi ke-336 Kabupaten Brebes, DR. Tahroni menyampaikan panggung hiburan rakyat kesenian tradisional dan modern digelar dalam rangkaian berbagai kegiatan untuk memperingati hari jadi Kabupaten Brebes.
“ Panggung hiburan, dilaksanakan secara marathon di 7 kecamatan se-Kabupaten Brebes. Sedangkan untuk materi hiburan, Tahroni menyerahkan kepada panitia lokal. Tahroni hanya berpesan agar disesuaikan dengan potensi local,”katanya.
Selain di Kecamatan Salem, panggung hiburan juga dilaksanakan di Kecamatan Songgom, Tonjong Bumiayu, Banjarharjo serta terakhir di Kecamatan Tanjung. Sedangkan panitia besar peringatan hari jadi Brebes juga sedang menyiapkan Festival Kuliner dari 17 kecamatan yang akan dilaksanakan pada Sabtu tanggal 18 besok serta kirab budaya.
Senin, 27 Januari 2014
Kesenian Jawa Barat
22.09
1 comment
A. Angklung
Angklung adalah sebuah alat atau waditra kesenian yang terbuat dari bambu khusus yang ditemukan oleh Bapak Daeng Sutigna sekitar tahun 1938. Ketika awal penggunaannya angklung masih sebatas kepentingan kesenian local atau tradisional.
B. Degung
Degung merupakan sebuah kesenian sunda yang biasanya dimainkan pada acara hajatan. Kesenian degung ini digunakan sebagai musik pengiring/pengantar. Degung ini merupakan gabungan dari peralatan musik khas Jawa Barat yaitu,Gendang, Goong, Kempul, Saron, Bonang, Kacapi, Suling, Rebab, dan sebagainya. Degung merupakan salah-satu kesenian yang paling populer di Jawa Barat, karena iringan musik degung ini selalu digunakan dalam setiap acara hajatan yang masih menganut adat tradisional, selain itu musik degung juga digunakan sebagai musik pengiring hampir pada setiap pertunjukan seni tradisional Jawa Barat lainnya. Selain seni tari, tanah Sunda juga terkenal dengan seni suaranya. Dalam memainkan Degung biasanya ada seorang penyanyi yang membawakan lagu-lagu Sunda dengan nada dan alunan yang khas. Penyanyi ini biasanya seorang wanita yang dinamakan Sinden. Tidak sembarangan orang dapat menyanyikan lagu yang dibawakan Sinden karena nada dan ritme-nya cukup sulit untuk ditiru dan dipelajari.
C. Rampak gendang
Rampak Gendang merupakan kesenian yang berasal dari Jawa Barat. Rampak Gendang ini adalah pemainan menabuh gendang secara bersama-sama dengan menggunakan irama tertentu serta menggunakan cara-cara tertentu untuk melakukannya, pada umumnya dimainkan oleh lebih dari empat orang yang telah mempunyai keahlian khusus dalam menabuh gendang. Biasanya rampak gendang ini diadakan pada acara pesta atau pada acara ritual.
D. Rengkong
Rengkong adalah salah satu kesenian tradisional yang diwariskan oleh leluhur
masyarakat Sunda. Muncul sekitar tahun 1964 di daerah Kabupaten Cianjur dan orang
yang pertama kali memunculkan dan mempopulerkannya adalah H. Sopjan. Bentuk
kesenian ini sudah diambil dari tata cara masyarakat sunda dahulu ketika menanam padi
sampai dengan menuainya.
E. Kuda renggong
Kuda Renggong atau Kuda Depok ialah salah satu jenis kesenian helaran yang terdapat di Kabupaten Sumedang, Majalengka dan Karawang. Cara penyajiannya yaitu, seekor kuda atau lebih di hias warna-warni, budak sunat dinaikkan ke atas punggung kuda tersebut, Budak sunat tersebut dihias seperti seorang Raja atau Satria, bisa pula meniru pakaian para Dalem Baheula, memakai Bendo, takwa dan pakai kain serta selop.
F. Kecapi suling
Kacapi Suling adalah kesenian yang berasal dari daerah Jawa Barat, yaitu permainan alat musik tradisional yang memadukan suara alunan Suling dengan Kacapi (kecapi), iramanya sangat merdu yang biasanya diiringi oleh Mamaos (tembang) Sunda yang memerlukan cengkok/ alunan tingkat tinggi khas Sunda, yang pada umumnya nyanyian atau lagunya dibawakan oleh seorang penyanyi perempuan, yang dalam bahasa sunda disebut Sinden. Kacapi suling ini biasanya digunakan untuk mengiringi nyanyian sunda. Sunda. Kacapi Suling berkembang pesat di daerah Cianjur dan kemudian menyebar kepenjuru Parahiangan Jawa Barat dan seluruh dunia.
Seni Tarian
A. Tari jaipong
Tanah Sunda (Priangan) dikenal memiliki aneka budaya yang unik dan menarik, Jaipongan adalah salah satu seni budaya yang terkenal dari daerah ini. Jaipongan atau Tari Jaipong sebetulnya merupakan tarian yang sudah modern karena merupakan modifikasi atau pengembangan dari tari tradisional khas Sunda yaitu Ketuk Tilu.Tari Jaipong ini dibawakan dengan iringan musik yang khas pula, yaituDegung. Musik ini merupakan kumpulan beragam alat musik seperti Kendang, Go’ong, Saron, Kacapi, dsb. Degung bisa diibaratkan ‘Orkestra’ dalam musik Eropa/Amerika. Ciri khas dari Tari Jaipong ini adalah musiknya yang menghentak, dimana alat musik kendang terdengar paling menonjol selama mengiringi tarian. Tarian ini biasanya dibawakan oleh seorang, berpasangan atau berkelompok. Sebagai tarian yang menarik, Jaipong sering dipentaskan pada acara-acara hiburan, selamatan atau pesta pernikahan.
B. Tari Ketuk tilu
Ketuk Tilu adalah suatu tarian pergaulan dan sekaligus hiburan yang biasanya diselenggarakan pada acara pesta perkawinan, acara hiburan penutup kegiatan atau diselenggrakan secara khusus di suatu tempat yang cukup luas. Pemunculan tari ini di masyarakat tidak ada kaitannya dengan adat tertentu atau upacara sakral tertentu tapi murni sebagai pertunjukan hiburan dan pergaulan. Oleh karena itu tari ketuk tilu ini banyak disukai masyarakat terutama di pedesaan yang jarang kegiatan hiburan.
C. Tari merak
Tari merak merupakan tarian tradisi suku sunda yang menggambarkan burung-burung merak yang sedang menari dengan gembira , tarian ini dibawakan oleh penari wanita-wanita sunda . dan biasanya tarian merak ini dibawakan untuk acara perkawinan ataupun menyambut tamu yang datang berkunjung ke tanah sunda .
D. Tari topeng
Tari topeng ini adalah tarian suku sunda yang dibawakan oleh sekelompok orang penari pria atau wanita, yang menggunakan topeng khas suku sunda , dan biasanya tarian ini untuk menyambut tamu-tamu yang ingin berkunjung datang , dan sebagai pementasan pada saat acara-acara tertentu .Seperti perkawinan,khitanan,dan sebagainya.
E. Kuda lumping
Kuda Lumping merupakan kesenian yang beda dari yang lain, karena dimainkan dengan cara mengundang roh halus sehingga orang yang akan memainkannya seperti kesurupan. Kesenian ini dimainkan dengan cara orang yang sudah kesurupan itu menunggangi kayu yang dibentuk seperti kuda serta diringi dengan tabuhan gendang dan terompet. Keanehan kesenian ini adalah orang yang memerankannya akan mampu memakan kaca serta rumput. Selain itu orang yang memerankannya akan dicambuk seperti halnya menyambuk kuda. Biasanya kesenian ini dipimpin oleh seorang pawang. Kesenian ini merupakan kesenian yang dalam memainkannya membutuhkan keahlian yang sangat husus, karena merupakan kesenian yang cukup berbahaya.
F. Wayang golek
Wayang Golek merupakan kesenian tradisional dari Jawa Barat, yaitu pementasan sandiwara boneka yang terbuat dari kayu dan dimainkan oleh seorang sutradara merangkap pengisi suara yang disebut Dalang. Seorang Dalang memiliki keahlian dalam menirukan berbagai suara manusia. Seperti halnya Jaipong, pementasan Wayang Golek diiringi musikDegung lengkap denganSinden nya. Wayang Golek biasanya dipentaskan pada acara hiburan, pesta pernikahan atau acara lainnya. Waktu pementasannya pun unik, yaitu pada malam hari (biasanya semalam suntuk) dimulai sekitar pukul 20.00 – 21.00 hingga pukul 04.00 pagi. Cerita yang dibawakan berkisar pada pergulatan antara kebaikan dan kejahatan (tokoh baik melawan tokoh jahat). Ceritanya banyak diilhami oleh budaya Hindu dari India, sepertiRamayana atau Perang Baratayudha. Tokoh-tokoh dalam cerita mengambil nama-nama dari tanah India. Dalam Wayang Golek, ada ‘tokoh’ yang sangat dinantikan pementasannya yaitu kelompok yang dinamakan Purnakawan, seperti Dawala danCepot. Tokoh-tokoh ini digemari karena mereka merupakan tokoh yang selalu memerankan peran lucu (seperti pelawak) dan sering memancing gelak tawa penonton. Seorang Dalang yang pintar akan memainkan tokoh tersebut dengan variasi yang sangat menarik.
Téknologi Urang Sunda dina Widang tatanén
22.05
No comments
Tatanén pikeun masarakat sunda lain hal anu anéh, sabab dina kabudayaan masrakat sunda pakasaban anu utama nya éta tatanén.[4] Tatanén geus tumuwuh mangabad-abad di masarakat sunda, ti mimiti jaman purba kabiasaan tatanén geus dilakonan ku masarakat sunda, sabab kaayaan alam anu nyadiakeun minangka kabutuhan pikeun neruskeun hirup harita.[4] Sakabéh kagiatan merlukeun atawa miboga pakakas husus, kitu deui dina widang tatanén. Pakakas nu dibutuhkeun téh diantarana :
- Arit nya éta pakakas paranti ngala jukut atawa ngala paré, dijieunna tina beusi dicampur baja jeung kai minangka gagangna, wangunna saperti gaét tapi teu nguél teuing. Arit miboga pungsi pikeun ngababad semak-semak, alang-alang jeung jujukutan.Dina mimitian ngabuka lahan anyar, biasana ngagunakeun arit.[5]
- Asahan mangrupa batu husus paranti ngasah sabangsaning péso, bedog, jsté.[5]
- Aseuk, Wangun aseuk téh kai buleud panjang, méncos tungtungna, paranti ngaseuk, nyieun logak leutik keur melak sisikian saperti jagong, suuk, buncis, kacang jsb. Aseuk disebut ogé luju.[5]
- Bakrik Mangrupa pakakas nu dijieunna tina awi anu diala katut jangkarna, dipaké pikeun gantar pangait, disadiakeun pikeun nulungan nu kahuruan, kaayeunaeun kakaitna sok dijieun tina beusi.[5]
- Bawak, Bagian pacul nu ngahiji jeung gelungana (bagian seuseukeutna beunang dilaan upama rék diasah) .[5]
- Bedog, Nya éta parabot paranti meulah atawa motongasabangsaning awi tawa kai jeung barang séjénna. Dijieunna tina beusi, pérah/ gagangna maké kai tawa ku aluminieum. Wangunna aya anu pondok aya ogé anu panjang. Wadahna disebut sarangka, anu dijieunna tina kai.[5]
- Burujul, nya éta wuluku nu teu maké lanjam.[5]
- Caplak, nya éta pakakas nu dipaké dina keur tandur, gunana pikeun ngaguratan taeuh supaya upama nancebkeun binih paré lempeng. Caplak téh dijieunna tina kai.[5]
- Congkrang, mangrupa parabot paranti ngababad sabangsaning jujukutan atawa tatangkalan anu leutik, jeung sajabana. Dijieunna tina beusi gagangna tina kai atawa aluminieum. Waggunna rada panjang batan arit, bagéan luhurna melengkung.[5]
- Étém, téh sabangsa péso nu diwangun husus paranti ngala paré raranggeuyan.[5]
- Garpuh, nya éta pakakas tukang tani paranti ngaguarkeun taneuh.[5]
- Garu, nya éta pakakas tukang tani, paranti ngajurkeun taneuh sawah sabada diwuluku, wangunna suga sisir carang, biasanna ditarik ku munding atawa sapi boh sarakit boh hiji.[5]
- Halu, nya éta parabot paranti nutu, dijieunna tina kai anu buleud.[5]
- Koréd, nya éta pakakas tani pikeun miceunan jujukutan di kebon, dijieunna tina beusi jeung waja, wangunna sarupa arit tapi dilengkungkeun.[5]
- Kujang, mangrupa pakakas sabangsa bedog sok dipaké pakarang atawa nyacar pihumaeun ku Urang Sunda baheula, bisa dipaké ngadék jeung newek, kiwari dipaké lambang rupa-rupa organisasi kasundaan.[5]
- Lalandak, nya éta parabot paranti ngarambét di sawah nu ditanduranana maké digarit (tandur jajar) . Disebut ogé géréndél atawa gilinding.[5]
- Lisung, mangrupa pakakas paranti nutu paré, dijieunna tina kai, liangna dua nya éta liang buleud jeung ling pasagi opat panjang.[5]
- Pacul, nya éta parabot paranti malikkeun taneuh di sawah, ngagali lobang, ngamalirkeun cai, ngaduk jsb. Seuseukeutna dijieun tina beusi atawa waja, gagangna tina kai nu diradabéngkokkeun sangkan gampang makéna.[5]
Watak Urang sunda
22.02
No comments
Saban bangsa ngabogaan etos, kultur, sarta budaya anu béda.[3]
Tapi tong anéh lamun aya bangsa anu boga kahayang pikeun melakeun étos
budayana ka bangsa séjén, alatan nyangka yén etos sarta kultur budaya
ngabogaan kaonjoyan.[3]
Kabiasaan ieu kasampak dina étos sarta kultur budaya bangsa urang,
alatan dina sawatara dékadeu geus kahébos ku budaya bangsa séjén.[3] Arus modernisasi menggempur budaya nasional urang anu jadi jati diri bangsa.[3] Budaya nasional kiwari kasampak pohara kuna, komo aya generasi ngora anu éra diajarna, pangabisa ngawasa kasenian tradisional dianggap teu méré mangpaat.[3]
Rasa bangsa beuki leungit, alatan budaya bangsa séjén leuwih kasampak
di batan budaya sorangan, kaayaan ieu ogé lumangsung dina budaya Sunda, ku kituna urang Sunda kaleungitan jati dirina. [3] Pikeun nyanghareupan bangbalu dina kabudayaan Sunda, aya alusna urang ngaléngkah ka tukang tiheula.[3]
Diajar, sarta ngumpulkeun keusik mutiara anu ambacak salila ieu, loba
papatah anu kapopohokeun, alatan henteu kungsi kacaba ku nu bogana. [3] Hal ieu lantaran kuranna kahayang pikeun diajar , komo maranéhanana méré anggapan tinggaleun jaman.[3] Lamun ditalungtik, sabenerna pamor étika moral Sunda ngabogaan hasanah hikmah anu rongkah, hal éta kagambar liwat talarina.[3] Aya sawatara étos atawa watek dina budaya Sunda ngeunaan hiji jalan pikeun ngahontal tujuan hirup.[3] Sajaba ti éta, étos sarta watek Sunda
ogé bisa jadi bekel kasalametan dina ngambah kahirupan di dunya ieu,
diantarana waé nya éta aya lima, cageur, bageur, bener, singer, sarta
pinter anu geus lahir kira-kira jaman Salakanagara sarta Tarumanagara.[3] Cageur, nya éta kudu cageur jasmani sarta rohani, cageur mikir, cageur boga pamadegan, cageur moral, cageur migawé sarta lalampah.[3] Bageur
nya éta boh haté, nyaah ka sasama, loba méré pamadegan sarta kaidah
moril nu hadé atawa materi, henteu korét, henteu émosional, boh haté,
penolong sarta ikhlas ngajalankeun sarta mengamalkan, lain ngan dibaca
boh diucapkan waé. Bener nya éta henteu bohong, henteu asal-asalan dina migawé pancén pakasaban, amanat, lempeng ngajalankeun ageman, bener dina mingpin, sarta henteu ngarusak alam.[3] Singer,
nya éta mawas diri lain was-was, ngarti dina saban pancén, miheulakeun
batur saméméh pribadi, ngahormatan pamadegan batur, pinuh kaasih nyaah,
henteu gancang ambek lamun dikritik tapi ditengetan harti esensina.[3] Pinter,
nya éta beunghar élmu dunya sarta ahérat, ngarti élmu ageman nepi ka
dasarna, bisa nyaluyukeun diri jeung sasama, bisa ngedalkeun sarta
ngabéréskeun masalah kalayan wijaksana, sarta henteu ngarasa singer
sorangan bari nyudutkeun batur.
Kabudayaan Sunda
22.01
No comments
Budaya atawa kabudayaan asalna tina basa Sansekerta nya éta buddhayah,
nu mangrupakeun wangun jamak tina buddhi (budi atawa akal) dihartikeun
salaku hal-hal nu aya pakaitna jeung budi ogé akal manusa.[1] Dina basa Inggris, kabudayaan disebut culture, nu asalna tina kécap Latin “Colere’, nya éta ngolah atawa ngerjakeun.[1] Bisa dihartikeun ogé salaku ngolah tanah atawa tatanén.[1] Kécap culture ogé bisa dihartikeun salaku “kultur” dina basa Indonesia.[1]
Kabudayaan didefinisikeun salaku sakabeh pangaweruh manusa salaku
makhluk sosial nu digunakeun pikeun maham jeung ngainterpretasikeun
lingkungan jeung pengalamanna, sarta jadi landasan dina tingkah-lakuna,
ku kituna kabudayaan mangrupakeun sarangkaian aturan-aturan,
pituduh-pituduh, rencana-rencana, jeung strategi-strategi nu ngawéngku
sarangkaian model-model kognitif nu dipiboga ku manusa, jeung
digunakeun sacara selektif Dina nyanghareupan lingkunganna sakumaha
kawujudna dina tingkah-laku jeung tindakan-tindakanna.[1]
Kabudayaan bisa didefinisikeun salaku sakabeh pangaweruh manusa salaku
makhluk sosial nu digunakeun pikeun maham jeung ngainterpretasikeun
lingkungan jeung pengalamanna, sarta jadi pituduh pikeun tingkah lakuna.[1]
Hiji kabudayaan mangrupakeun kabogaan babarengan anggota dina masarakat
atawa golongan sosial, nu sumebarna ka anggota-anggotanna jeung
pewarisna ka generasi saterusna dilakukeun ngaliwatan proses belajar
jeung ngagunakeun simbol-simbol nu ngawujud boh dina wangun ka ucap boh
henteu (ka asup ogé sarupaning pakakas nu dijieun ku manusa).[1]
Ku kituna, sakumna warga masarakat miboga pangaweruh ngeunaan
kabudayaanna nu henteu sarua jeung anggota-anggota lianna, lantaran ku
pengalaman jeung proses diajar nu beda jeung lantaran
lingkungan-lingkungan nu disanghareupan teu salilana sarua.[1] Sedengkeun Sunda nya éta istilah pikeun idéntitas hiji séké sélér nu nyicingan utamana bagian kulon pulo Jawa (katelah Tatar Sunda atawa Pasundan, ngawengku propinsi Jawa Kulon, Banten, jeung bagian kulon Jawa Tengah), nyaéta urang Sunda, nu migunakeun basa Sunda salaku basa indungna katut kabudayaanana.[2]
Minuman dan Makanan Khas Sunda
21.57
No comments
Beberapa makanan dan minuman khas Sunda sangat banyak, namun penulis mencoba menuliskannya beberapa diantaranya yaitu:
Bajigur adalah minuman hangat khas masyarakat Sunda dari daerah Jawa
Barat, Indonesia. Bahan utamanya adalah gula aren, dan santan. Untuk
menambah kenikmatan dicampurkan pula sedikit jahe, garam dan bubuk
vanili.
Minuman yang disajikan panas ini biasa dijual dengan menggunakan
gerobak yang menyertakan kompor. Bajigur paling cocok diminum pada saat
cuaca dingin dan basah sehabis hujan. Makanan yang sering dihidangkan
bersama bajigur adalah pisang rebus, ubi rebus, atau kacang rebus.
Bandrek adalah minuman tradisional orang Sunda dari
Jawa Barat, Indonesia yang dikonsumsi untuk menaikkan kehangatan tubuh.
Minuman ini biasanya dihidangkan pada cuaca dingin, seperti di kala
hujan ataupun malam hari. Bahan dasar bandrék yang paling penting adalah
jahe dan gula merah, tapi daerah-daerah tertentu menambahkan
rempah-rempah tersendiri untuk memperkuat efek hangat yang diberikan
bandrék, seperti serai, merica, pandan, telur ayam kampung, dan
sebagainya. Susu juga dapat ditambahkan tergantung dari selera
penyajian. Banyak orang Indonesia percaya bahwa bandrék dapat
menyembuhkan penyakit ringan seperti sakit tenggorokan. Ada juga bandrék
yang dikhususkan untuk orang dewasa karena efek panasnya.
Cendol
Cendol merupakan minuman khas Indonesia yang terbuat dari tepung
beras, disajikan dengan es parut serta gula merah cair dan santan. Rasa
minuman ini manis dan gurih. Di daerah Sunda minuman ini dikenal dengan
nama cendol sedangkan di Jawa Tengah dikenal dengan nama es dawet.
Berkembang kepercayaan populer dalam masyarakat Indonesia bahwa istilah
“cendol” mungkin sekali berasal dari kata “jendol”, yang ditemukan dalam
bahasa Sunda, Jawa dan Indonesia; hal ini merujuk sensasi jendolan yang
dirasakan ketika butiran cendol melalui mulut kala tengah meminum es
cendol.
Tepung beras diolah dengan diberi pewarna berwarna hijau dan di cetak
melalui saringan khusus, sehingga berbentuk buliran. Pewarna yang
digunakan awalnya adalah pewarna alami dari daun pandan, namun saat ini
telah digunakan pewarna makanan buatan. Di Sunda cendol dibuat dengan
cara mengayak kukusan tepung beras yang diwarnai dengan daun suji dengan
ayakan sehingga diperoleh bentuk bulat lonjong yang lancip di ujungnya.
Di Sunda minum cendol disebut nyendol.
es Lilin
Es yang juga menjadi judul salah satu lagu sunda ini adalah es yang
terbuat dari campuran santan, gula dan susu. Sekarang varian es lilin
ini sudah bermacam macam, ada rasa strawberry, melon, bahkan leci.
Beas Cikur
Minuman beras kencur termasuk minuman eksis karena bisa ditemukan di
mana saja. Di bakul tukang jamu gendong manapun pasti ada, bahkan
disajikan sebagai welcome drink di restoran.
Ramuannya sangat sederhana, karena hanya terdiri dari bubuk beras dan kencur (Kaempferia galanga L)
yang diseduh dalam air. Meski begitu, manfaatnya sangat beragam mulai
dari meredakan letih lesu karena kelelahan hingga mengurangi geala masuk
angin.
Selain karena banyak manfaatnya, beras kencur juga disukai karena
rasanya sama sekali tidak pahit seperti bayangan orang kebanyakan
tentang jamu. Justru rasanya yang segar membuatnya sering disajikan
dalam bentuk es beras kencur sebagai minuman segar, bukan sebagai jamu
untuk pengobatan tradisional.
Sakoteng
Sekoteng adalah minuman hangat yang tentunya sangat enak dan
berkhasiat tinggi. Minuman asli indonesia ini sangat nikmat disajikan
dimalam hari dan saat hujan tiba. Sekoteng ini tentunya menggunakan racikan bahan dan rempah-rempah alami asli indonesia. resep sekoteng terdiri dari air rebusan jahe dan rempah lainnya.
Bahan lain yang biasanya dicampur ke dalam minuman sekoteng adalah
kacang hijau, kacang tanah, pacar cina, dan potongan roti. Sekoteng
biasa dihidangkan pada malam hari. Sekoteng biasanya dijual keliling
dengan menggunakan gerobak pikul. Satu sisi untuk panci air jahe beserta
kompornya sedangkan sisi lain adalah tempat bahan campuran dan tempat
mempersiapkan sekoteng.
Goyobod
Goyobod adalah minuman khas Priangan. Goyobod sendiri adalah tepung
sagu aren yang diproses seperti agar-agar. Dicampur macam-macam tambahan
seperti sekoteng, alpukat, yang dicampur dalam santan kelapa dan es
serut dengan pemanis sirup gula dan susu kental manis serta tambahan
roti manis.
Karedok
Karedok atau keredok adalah makanan khas daerah di Indonesia. Karedok
dibuat dengan bahan-bahan sayuran mentah antara lain; ketimun, tauge,
kol, kacang panjang, daun kemangi, dan terong. Sedangkan sausnya adalah
bumbu kacang yang dibuat dari cabai merah, bawang putih, kencur, kacang
tanah, air asam, gula jawa, garam, dan terasi.
Lotek
Lotek hampir sama dengan pecel, yakni makanan berupa rebusan sayuran
segar yang disiram dressing berupa sambal dicampur bumbu kacang.
Keunikannya, sebagai bahan sambal di samping kacang seringkali
ditambahkan tempe dan dalam bumbunya ditambahkan terasi, gula merah, dan
bawang putih. Secara umum, lotek terasa lebih manis daripada pecel.
Selain itu, kalau sambal pecel bumbu sudah dicampur sebelumnya, untuk
lotek bumbu baru ditambahkan ketika akan dihidangkan. Lotek dapat
disajikan dengan lontong atau nasi hangat, disertai dengan kerupuk dan
bawang goreng.
Colenak
Colenak adalah singkatan dicocol enak (bahasa sunda),merupakan
makanan yang dibuat dari peuyeum (tape singkong) yang dibakar kemudian
disajikan dengan saus yang terbuat dari parutan kelapa dan gula merah.
Makanan khas Bandung yang masih bertahan meski saat ini agak jarang yang
menjualnya. Karena kandungan gula di dalam tape maka tape tersebut
mudah gosong, meski ini adalah bagian yang terenak bagi beberapa orang.
- Seblak
Seblak adalah makanan yang terbuat dari kerupuk rebus, yang dicampur
racikan bumbu pedas yang terdiri dari Cabai, Bawang Putih, Garam dan
Kencur. Seblak ini ada 2 macam yaitu Seblak Kering dan Seblak Basah.
Peuyeum
Peuyeum Bandung atau dalam bahasa Indonesianya disebut dengan Tape memiliki
2 jenis yang berbeda bahan pembuatannya, jenis peuyeum yang pertama
terbuat dari singkong, dan jenis ini mungkin jenis peuyeum yang sering
kita temui. Kemudian jenis yang kedua, ada jenis peuyeum yang dibuat
dari beras ketan yang telah di fermentasikan. Dan yang akan kita bahas
kali ini adalah jenis peuyeum yang terbuat dari bahan dasar singkong.
Kedua jenis peuyeum ini mempunyai rasa yang enak oleh karena itu peuyeum
sangat terkenal di Bandung. Biasanya para pengunjung dan wisatawan,
baik lokal dan bahkan turis mancanegara pada saat liburan atau
berkunjung ke Bandung mereka selalu membeli peuyeum sebagai oleh-oleh baik untuk tetangga, kerabat, atau keluarganya di kota asal mereka.
Jumat, 24 Januari 2014
Upacara Adat Sunda
23.50
No comments
Adat istiadat yang diwariskan leluhurnya
pada masyarakat Sunda masih dipelihara dan dihormati. Dalam daur hidup
manusia dikenal upacara-upacara yang bersifat ritual adat seperti:
upacara adat Masa Kehamilan, Masa Kelahiran, Masa Anak-anak, Perkawinan,
Kematian dll. Demikian juga dalam kegiatan pertanian dan keagamaan
dikenal upacara adat yang unik dan menarik. Itu semua ditujukan sebagai
ungkapan rasa syukur dan mohon kesejahteraan dan keselamatan lahir
bathin dunia dan akhirat. Beberapa kegiatan upacara adat di Jawa Barat
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Upacara Daur Hidup Manusia
A.Upacara Adat Masa Kehamilan
A.Upacara Adat Masa Kehamilan
1. Upacara Mengandung Empat Bulan
Dulu Masyarakat Jawa Barat apabila seorang perempuan baru mengandung 2 atau 3 bulan belum disebut hamil, masih disebut mengidam. Setelah lewat 3 bulan barulah disebut hamil. Upacara mengandung Tiga Bulan dan Lima Bulan dilakukan sebagai pemberitahuan kepada tetangga dan kerabat bahwa perempuan itu sudah betul-betul hamil.
Namun sekarang kecenderungan orang-orang melaksanakan upacara pada saat kehamilan menginjank empat bulan, karena pada usia kehamilan empat bulan itulah saat ditiupkannya roh pada jabang bayi oleh Allah SWT. Biasanya pelaksanaan upacara Mengandung empat Bulan ini mengundang pengajian untuk membacakan do’a selamat, biasanya doa nurbuat dan doa lainnya agar bayinya mulus, sempurna, sehat, dan selamat.
Dulu Masyarakat Jawa Barat apabila seorang perempuan baru mengandung 2 atau 3 bulan belum disebut hamil, masih disebut mengidam. Setelah lewat 3 bulan barulah disebut hamil. Upacara mengandung Tiga Bulan dan Lima Bulan dilakukan sebagai pemberitahuan kepada tetangga dan kerabat bahwa perempuan itu sudah betul-betul hamil.
Namun sekarang kecenderungan orang-orang melaksanakan upacara pada saat kehamilan menginjank empat bulan, karena pada usia kehamilan empat bulan itulah saat ditiupkannya roh pada jabang bayi oleh Allah SWT. Biasanya pelaksanaan upacara Mengandung empat Bulan ini mengundang pengajian untuk membacakan do’a selamat, biasanya doa nurbuat dan doa lainnya agar bayinya mulus, sempurna, sehat, dan selamat.
2. Upacara Mengandung Tujuh Bulan/Tingkeban
Upacara Tingkeban adalah upacara yang diselenggarakan pada saat seorang
ibu mengandung 7 bulan. Hal itu dilaksanakan agar bayi yang di dalam
kandungan dan ibu yang melahirkan akan selamat. Tingkeban berasal dari
kata tingkeb artinya tutup, maksudnya si ibu yang sedang mengandung
tujuh bulan tidak boleh bercampur dengan suaminya sampai empat puluh
hari sesudah persalinan, dan jangan bekerja terlalu berat karena bayi
yang dikandung sudah besar, hal ini untuk menghindari dari sesuatu yang
tidak diinginkan. Di dalam upacara ini biasa diadakan pengajian biasanya
membaca ayat-ayat Al-Quran surat Yusuf, surat Lukman dan surat Maryam.
Di samping itu dipersiapkan pula peralatan untuk upacara memandikan ibu
hamil , dan yang utama adalah rujak kanistren yang terdiri dari 7 macam
buah-buahan. Ibu yang sedang hamil tadi dimandikan oleh 7 orang keluarga
dekat yang dipimpin seorang paraji secara bergantian dengan menggunakan
7 lembar kain batik yang dipakai bergantian setiap guyuran dan
dimandikan dengan air kembang 7 rupa. Pada guyuran ketujuh dimasukan
belut sampai mengena pada perut si ibu hamil, hal ini dimaksudkan agar
bayi yang akan dilahirkan dapat berjalan lancar (licin seperti belut).
Bersamaan dengan jatuhnya belut, kelapa gading yang telah digambari
tokoh wayang oleh suaminya dibelah dengan golok. Hal ini dimaksudkan
agar bayi yang dikandung dan orang tuanya dapat berbuat baik lahir dan
batin, seperti keadaan kelapa gading warnanya elok, bila dibelah airnya
bersih dan manis. Itulah perumpamaan yang diharapkan bagi bayi yang
dikandung supaya mendapatkan keselamatan dunia-akhirat.
Sesudah selesai dimandikan biasanya ibu hamil didandani dibawa menuju
ke tempat rujak kanistren tadi yang sudah dipersiapkan. Kemudian sang
ibu menjual rujak itu kepada anak-anak dan para tamu yang hadir dalam
upacara itu, dan mereka membelinya dengan menggunakan talawengkar, yaitu
genteng yang sudah dibentuk bundar seperti koin. Sementara si ibu hamil
menjual rujak, suaminya membuang sisa peralatan mandi seperti air sisa
dalam jajambaran, belut, bunga, dsb. Semuanya itu harus dibuang di jalan
simpang empat atau simpang tiga. Setelah rujak kanistren habis terjual
selesailah serangkaian upacara adat tingkeban.
3. Upacara Mengandung Sembilan Bulan
Upacara sembuilan bulan dilaksanakan setelah usia kandungan masuk
sembilan bulan. Dalam upacara ini diadakan pengajian dengan maksud agar
bayi yang dikandung cepat lahir dengan selamat karena sudah waktunya
lahir. Dalam upacara ini dibuar bubur lolos, sebagai simbul dari upacara
ini yaitu supaya mendapat kemudahan waktu melahirkan, lolos. Bubur
lolos ini biasanya dibagikan beserta nasi tumpeng atau makanan lainnya.
4. Upacara Reuneuh Mundingeun
Upacara Reuneuh Mundingeun dilaksanakan apabila perempuan yang mengandung lebih dari sembilan bulan,bahkan ada yang sampai 12 bulan tetapi belum melahirkan juga, perempuan yang hamil itu disebut Reuneuh Mundingeun, seperti munding atau kerbau yang bunting. Upacara ini diselenggarakan agar perempuan yang hamil tua itu segera melahirkan jangan seperti kerbau, dan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Pada pelaksanaannya leher perempuan itu dikalungi kolotok dan dituntun oleh indung beurang sambil membaca doa dibawa ke kandang kerbau. Kalau tidak ada kandang kerbau, cukup dengan mengelilingi rumah sebanyak tujuh kali. Perempuan yang hamil itu harus berbuat seperti kerbau dan menirukan bunyi kerbau sambil dituntun dan diiringkan oleh anak-anak yang memegang cambuk. Setelah mengelilingi kandang kerbau atau rumah, kemudian oleh indung beurang dimandikan dan disuruh masuk ke dalam rumah. Di kota pelaksanaan upacara ini sudah jarang dilaksanakan.
Upacara Reuneuh Mundingeun dilaksanakan apabila perempuan yang mengandung lebih dari sembilan bulan,bahkan ada yang sampai 12 bulan tetapi belum melahirkan juga, perempuan yang hamil itu disebut Reuneuh Mundingeun, seperti munding atau kerbau yang bunting. Upacara ini diselenggarakan agar perempuan yang hamil tua itu segera melahirkan jangan seperti kerbau, dan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Pada pelaksanaannya leher perempuan itu dikalungi kolotok dan dituntun oleh indung beurang sambil membaca doa dibawa ke kandang kerbau. Kalau tidak ada kandang kerbau, cukup dengan mengelilingi rumah sebanyak tujuh kali. Perempuan yang hamil itu harus berbuat seperti kerbau dan menirukan bunyi kerbau sambil dituntun dan diiringkan oleh anak-anak yang memegang cambuk. Setelah mengelilingi kandang kerbau atau rumah, kemudian oleh indung beurang dimandikan dan disuruh masuk ke dalam rumah. Di kota pelaksanaan upacara ini sudah jarang dilaksanakan.
B. Upacara Kelahiran dan Masa Bayi
1. Upacara Memelihara Tembuni
Tembuni/placenta dipandang sebagai saudara bayi karena itu tidak boleh dibuang sembarangan, tetapi harus diadakan upacara waktu menguburnya atau menghanyutkannya ke sungai.
Bersamaan dengan bayi dilahirkan, tembuni (placenta) yang keluar biasanya dirawat dibersihkan dan dimasukan ke dalam pendil dicampuri bumbu-bumbu garam, asam dan gula merah lalu ditutup memakai kain putih yang telah diberi udara melalui bambu kecil (elekan). Pendil diemban dengan kain panjang dan dipayungi, biasanya oleh seorang paraji untuk dikuburkan di halaman rumah atau dekat rumah. Ada juga yang dihanyutkan ke sungai secara adat. Upacara penguburan tembuni disertai pembacaan doa selamat dan menyampaikan hadiah atau tawasulan kepada Syeh Abdulkadir Jaelani dan ahli kubur. Di dekat kuburan tembuni itu dinyalakan cempor/pelita sampai tali pusat bayi lepas dari perutnya.. Upacara pemeliharaan tembuni dimaksudkan agar bayi itu selamat dan kelak menjadi orang yang berbahagia.
Tembuni/placenta dipandang sebagai saudara bayi karena itu tidak boleh dibuang sembarangan, tetapi harus diadakan upacara waktu menguburnya atau menghanyutkannya ke sungai.
Bersamaan dengan bayi dilahirkan, tembuni (placenta) yang keluar biasanya dirawat dibersihkan dan dimasukan ke dalam pendil dicampuri bumbu-bumbu garam, asam dan gula merah lalu ditutup memakai kain putih yang telah diberi udara melalui bambu kecil (elekan). Pendil diemban dengan kain panjang dan dipayungi, biasanya oleh seorang paraji untuk dikuburkan di halaman rumah atau dekat rumah. Ada juga yang dihanyutkan ke sungai secara adat. Upacara penguburan tembuni disertai pembacaan doa selamat dan menyampaikan hadiah atau tawasulan kepada Syeh Abdulkadir Jaelani dan ahli kubur. Di dekat kuburan tembuni itu dinyalakan cempor/pelita sampai tali pusat bayi lepas dari perutnya.. Upacara pemeliharaan tembuni dimaksudkan agar bayi itu selamat dan kelak menjadi orang yang berbahagia.
2. Upacara Nenjrag Bumi
Upacara Nenjrag Bumi ialah upacara memukulkan alu ke bumi sebanyak tujuh
kali di dekat bayi, atau cara lain yaitu bayi dibaringkan di atas
pelupuh (lantai dari bambo yang dibelah-belah ), kemudian indung beurang
menghentakkan kakinya ke pelupuh di dekat bayi. Maksud dan tujuan dari
upacara ini ialah agar bayi kelak menjadi anak yang tidak lekas terkejut
atau takut jika mendengar bunyi yang tiba-tiba dan menakutkan.
3 .Upacara Puput Puseur
Setelah bayi terlepas dari tali pusatnya, biasanya diadakan selamatan.
Tali pusat yang sudah lepas itu oleh indung beurang dimasukkan ke dalam
kanjut kundang . Seterusnya pusar bayi ditutup dengan uang logam/benggol
yang telah dibungkus kasa atau kapas dan diikatkan pada perut bayi,
maksudnya agar pusat bayi tidak dosol, menonjol ke luar. Ada juga pada
saat upacara ini dilaksanakan sekaligus dengan pemberian nama bayi. Pada
upacara ini dibacakan doa selamat, dan disediakan bubur merah bubur
putih.
Ada kepercayaan bahwa tali pusat (tali ari-ari) termasuk saudara bayi
juga yang harus dipelihara dengan sungguh-sungguh. Adapun saudara bayi
yang tiga lagi ialah tembuni, pembungkus, dan kakawah. Tali ari,
tembuni, pembungkus, dan kakawah biasa disebut dulur opat kalima pancer,
yaitu empat bersaudara dan kelimanya sebagai pusatnya ialah bayi itu.
Kesemuanya itu harus dipelihara dengan baik agar bayi itu kelak setelah
dewasa dapat hidup rukun dengan saudara-saudaranya (kakak dan adiknya)
sehingga tercapailah kebahagiaan.
4. Upacara Ekah
Sebetulnya kata ekah berasal dari bahasa Arab, dari kata aqiqatun “anak
kandung”. Upacara Ekah ialah upacara menebus jiwa anak sebagai pemberian
Tuhan, atau ungkapan rasa syukur telah dikaruniai anak oleh Tuhan Yang
Maha Kuasa, dan mengharapkan anak itu kelak menjadi orang yang saleh
yang dapat menolong kedua orang tuanya nanti di alam akhirat. Pada
pelaksanaan upacara ini biasanya diselenggarakan setelah bayi berusia 7
hari, atau 14 hari, dan boleh juga setelah 21 hari. Perlengkapan yangb
harus disediakan adalah domba atau kambing untuk disembelih, jika anak
laki-laki dombanya harus dua (kecuali bagi yang tidak mampu cukup
seekor), dan jika anak perempuan hanya seekor saja.
Domba yang akan disembelih untuk upacara Ekah itu harus yang baik, yang
memenuhi syarat untuk kurban. Selanjutnya domba itu disembelih oleh
ahlinya atau Ajengan dengan pembacaan doa selamat, setelah itu dimasak
dan dibagikan kepada handai tolan.
5. Upacara Nurunkeun
Upacara Nurunkeun ialah upacara pertama kali bayi dibawa ke halaman rumah, maksudnya mengenal lingkungan dan sebagai pemberitahuan kepada tetangga bahwa bayi itu sudah dapat digendong dibawa berjalan-jalan di halaman rumah. Upacara Nurun keun dilaksanakan setelah tujuh hari upacara Puput Puseur. Pada pelaksanaannya biasa diadakan pengajian untuk keselamatan dan sebagai hiburannya diadakan pohon tebu atau pohon pisang yang digantungi aneka makanan, permainan anak-anak yang diletakan di ruang tamu. Untuyk diperebutkan oleh para tamu terutama oleh anak-anak.
Upacara Nurunkeun ialah upacara pertama kali bayi dibawa ke halaman rumah, maksudnya mengenal lingkungan dan sebagai pemberitahuan kepada tetangga bahwa bayi itu sudah dapat digendong dibawa berjalan-jalan di halaman rumah. Upacara Nurun keun dilaksanakan setelah tujuh hari upacara Puput Puseur. Pada pelaksanaannya biasa diadakan pengajian untuk keselamatan dan sebagai hiburannya diadakan pohon tebu atau pohon pisang yang digantungi aneka makanan, permainan anak-anak yang diletakan di ruang tamu. Untuyk diperebutkan oleh para tamu terutama oleh anak-anak.
6. Upacara Cukuran/Marhabaan
Upacara cukuran dimaksudkan untuk membersihkan atau menyucikan rambut
bayi dari segala macam najis. Upacara cukuran atau marhabaan juga
merupakan ungkapan syukuran atau terima kasih kepada Tuhan YME yang
telah mengkaruniakan seorang anak yang telah lahir dengan selamat.
Upacara cukuran dilaksanakan pada saat bayi berumur 40 hari.
Pada pelaksanaannya bayi dibaringkan di tengah-tengah para undangan
disertai perlengkapan bokor yang diisi air kembang 7 rupa dan gunting
yang digantungi perhiasan emas berupa kalung, cincin atau gelang untuk
mencukur rambut bayi. Pada saat itu mulailah para undangan berdo’a dan
berjanji atau disebut marhaban atau pupujian, yaitu memuji sifat-sifat
nabi Muhammad saw. dan membacakan doa yang mempunyai makna selamat lahir
bathin dunia akhirat. Pada saat marhabaan itulah rambut bayi digunting
sedikit oleh beberapa orang yang berdoa pada saat itu.
7. Upacara Turun Taneuh
Upacara Turun Taneuh ialah upacara pertama kali bayi menjejakkan kakinya ke tanah, diselenggarakan setelah bayi itu agak besar, setelah dapat merangkak atau melangkah sedikit-sedikit. Upacara ini dimaksudkan agar si anak mengetahui keduniawian dan untuk mengetahui akan menjadi apakah anak itu kelak, apakah akan menjadi petani, pedagang, atau akan menjadi orang yang berpangkat.
Perlengkapan yang disediakan harus lebih lengkap dari upacara Nurunkeun, selain aneka makanan juga disediakan kain panjang untuk menggendong, tikar atau taplak putih, padi segenggam, perhiasan emas (kalung, gelang, cincin), uang yang terdiri dari uang lembaran ratusan, rebuan, dan puluh ribuan.
Jalannya upacara, apabila para undangan telah berkumpul diadakan doa selamat, setelah itu bayi digendong dan dibawa ke luar rumah. Di halam rumah telah dipersiapkan aneka makanan, perhiasan dan uang yang disimpan di atas kain putih, selanjutnya kaki si anak diinjakan pada padi/ makanan, emas, dan uang, hal ini dimaksudkan agar si anak kelak pintar mencari nafkah. Kemudian anak itu dilepaskan di atas barang-barang tadi dan dibiarkan merangkak sendiri, para undangan memperhatikan barang apa yang pertama kali dipegangnya. Jika anak itu memegang padi, hal itu menandakan anak itu kelak menjadi petani. Jika yang dipegang itu uang, menandakan anak itu kelak menjadi saudagar/pengusaha. Demikian pula apabila yang dipegangnya emas, menandakan anak itu kelak akan menjadi orang yang berpangkat atau mempunyai kedudukan yang terhormat.
Upacara Turun Taneuh ialah upacara pertama kali bayi menjejakkan kakinya ke tanah, diselenggarakan setelah bayi itu agak besar, setelah dapat merangkak atau melangkah sedikit-sedikit. Upacara ini dimaksudkan agar si anak mengetahui keduniawian dan untuk mengetahui akan menjadi apakah anak itu kelak, apakah akan menjadi petani, pedagang, atau akan menjadi orang yang berpangkat.
Perlengkapan yang disediakan harus lebih lengkap dari upacara Nurunkeun, selain aneka makanan juga disediakan kain panjang untuk menggendong, tikar atau taplak putih, padi segenggam, perhiasan emas (kalung, gelang, cincin), uang yang terdiri dari uang lembaran ratusan, rebuan, dan puluh ribuan.
Jalannya upacara, apabila para undangan telah berkumpul diadakan doa selamat, setelah itu bayi digendong dan dibawa ke luar rumah. Di halam rumah telah dipersiapkan aneka makanan, perhiasan dan uang yang disimpan di atas kain putih, selanjutnya kaki si anak diinjakan pada padi/ makanan, emas, dan uang, hal ini dimaksudkan agar si anak kelak pintar mencari nafkah. Kemudian anak itu dilepaskan di atas barang-barang tadi dan dibiarkan merangkak sendiri, para undangan memperhatikan barang apa yang pertama kali dipegangnya. Jika anak itu memegang padi, hal itu menandakan anak itu kelak menjadi petani. Jika yang dipegang itu uang, menandakan anak itu kelak menjadi saudagar/pengusaha. Demikian pula apabila yang dipegangnya emas, menandakan anak itu kelak akan menjadi orang yang berpangkat atau mempunyai kedudukan yang terhormat.
C. Upacara Masa Kanak-kanak
1. Upacara Gusaran
Gusaran adalah meratakan gigi anak perempuan dengan alat khusus. Maksud upacara Gusaran ialah agar gigi anak perempuan itu rata dan terutama agar nampak bertambah cantik. Upacara Gusaran dilaksanakan apabila anak perempuan sudah berusia tujuh tahun. Jalannya upacara, anak perempuan setelah didandani duduk di antara para undangan, selanjutnya membacakan doa dan solawat kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian Indung beurang melaksanakan gusaran terhadap anak perempuan itu, setelah selesai lalu dibawa ke tangga rumah untuk disawer (dinasihati melalui syair lagu). Selesai disawer, kemudian dilanjutkan dengan makan-makan. Biasanya dalam upacara Gusaran juga dilaksanakan tindikan, yaitu melubangi daun telinga untuk memasang anting-anting, agar kelihatannya lebih cantik lagi.
Gusaran adalah meratakan gigi anak perempuan dengan alat khusus. Maksud upacara Gusaran ialah agar gigi anak perempuan itu rata dan terutama agar nampak bertambah cantik. Upacara Gusaran dilaksanakan apabila anak perempuan sudah berusia tujuh tahun. Jalannya upacara, anak perempuan setelah didandani duduk di antara para undangan, selanjutnya membacakan doa dan solawat kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian Indung beurang melaksanakan gusaran terhadap anak perempuan itu, setelah selesai lalu dibawa ke tangga rumah untuk disawer (dinasihati melalui syair lagu). Selesai disawer, kemudian dilanjutkan dengan makan-makan. Biasanya dalam upacara Gusaran juga dilaksanakan tindikan, yaitu melubangi daun telinga untuk memasang anting-anting, agar kelihatannya lebih cantik lagi.
2. Upacara Sepitan/Sunatan
Upacara sunatan/khitanan dilakukan dengan maksud agar alat vitalnya
bersih dari najis . Anak yang telah menjalani upacara sunatan dianggap
telah melaksanakan salah satu syarat utama sebagai umat Islam. Upacara
Sepitan anak perempuan diselenggarakan pada waktu anak itu masih kecil
atau masih bayi, supaya tidak malu. Upacara sunatan diselenggarakan
biasanya jika anak laki-laki menginjak usia 6 tahun. Dalam upacara
sunatan selain paraji sunat, juga diundang para tetangga, handai tolan
dan kerabat..
Pada pelaksanaannya pagi-pagi sekali anak yang akan disunat dimandikan
atau direndam di kolam sampai menggigil (kini hal semacam itu jarang
dilakukan lagi berhubung teknologi kesehatan sudah berkembang), kemudian
dipangku dibawa ke halaman rumah untuk disunat oleh paraji sunat
(bengkong), banyak orang yang menyaksikan diantaranya ada yang memegang
ayam jantan untuk disembelih, ada yang memegang petasan dan macam-macam
tetabuhan sambil menyanyikan marhaba. Bersamaan dengan anak itu
disunati, ayam jantan disembelih sebagai bela, petasan disulut, dan
tetabuhan dibunyikan . Kemudian anak yang telah disunat dibawa ke dalam
rumah untuk diobati oleh paraji sunat. Tidak lama setelah itu para
undangan pun berdatangan, baik yang dekat maupun yang jauh. Mereka
memberikan uang/ nyecep kepada anak yang disunat itu agar bergembira dan
dapat melupakan rasa sakitnya. Pada acara ini adapula yang
menyelenggarakan hiburan seperti wayang golek, sisingaan atau aneka
tarian.
D. Upacara Adat Perkawinan
Secara kronologis upacara adat perkawinan dapat diurut mulai dari adat sebelum akad nikah, saat akad nikah dan sesudah akad nikah
Secara kronologis upacara adat perkawinan dapat diurut mulai dari adat sebelum akad nikah, saat akad nikah dan sesudah akad nikah
1. Upacara sebelum akad nikah
pada upacara ini biasanya dilaksanakan adat :
(1) Neundeun Omong : yaitu kunjungan orang tua jejaka kepada orang tua si gadis untuk bersilaturahmi dan menyimpan pesan bahwa kelak anak gadisnya akan dilamar.
(2) Ngalamar : nanyaan atau nyeureuhan yaitu kunjungan orang tua jejaka untuk meminang/melamar si gadis, dalam kunjungan tersebut dibahas pula mengenai rencana waktu penikahannya. Sebagai acara penutup dalam ngalamar ini si pelamar memberikan uang sekedarnya kepada orang tua si gadis sebagai panyangcang atau pengikat, kadang-kadang dilengkapi pula dengan sirih pinang selengkapnya disertai kue-kue & buah-buahan. Mulai saat itu si gadis telah terikat dan disebut orang bertunangan.
(3) Seserahan: yaitu menyerahkan si jejaka calon pengantin pria kepada calon mertuanya untuk dikawinkan kepada si gadis. Pada acara ini biasa dihadiri oleh para kerabat terdekat, di samping menyerahkan calon pengantin pria juga barang-barang berupa uang, pakaian, perhiasan, kosmetik dan perlengkapan wanita, dalam hal ini tergantung pula pada kemampuan pihak calon pengantin pria. Upacara ini dilakukan 1 atau 2 hari sebelum hari perkawinan atau adapula yang melaksanakan pada hari perkawinan sebelum akad nikah dimulai.
(4) Ngeuyeuk Seureuh: artinya mengerjakan dan mengatur sirih serta mengait-ngaitkannya. Upacara ini dilakukan sehari sebelum hari perkawinan, yang menghadiri upacara ini adalah kedua calon pengantin, orang tua calon pengantin dan para undangan yang telah dewasa. Upacara dipimpin oleh seorang pengetua, benda perlengkapan untuk upacara ini seperti sirih beranting, setandan buah pinang, mayang pinang, tembakau, kasang jinem/kain, elekan, dll semuanya mengandung makna/perlambang dalam kehidupan berumah tangga. Upacara ngeuyeuk seureuh dimaksudkan untuk menasihati kedua calon mempelai tentang pandangan hidup dan cara menjalankan kehidupan berumah tangga berdasarkan etika dan agama, agar bahagia dan selamat. Upacara pokok dalam adat perkawinan adalah ijab kabul atau akad nikah .
pada upacara ini biasanya dilaksanakan adat :
(1) Neundeun Omong : yaitu kunjungan orang tua jejaka kepada orang tua si gadis untuk bersilaturahmi dan menyimpan pesan bahwa kelak anak gadisnya akan dilamar.
(2) Ngalamar : nanyaan atau nyeureuhan yaitu kunjungan orang tua jejaka untuk meminang/melamar si gadis, dalam kunjungan tersebut dibahas pula mengenai rencana waktu penikahannya. Sebagai acara penutup dalam ngalamar ini si pelamar memberikan uang sekedarnya kepada orang tua si gadis sebagai panyangcang atau pengikat, kadang-kadang dilengkapi pula dengan sirih pinang selengkapnya disertai kue-kue & buah-buahan. Mulai saat itu si gadis telah terikat dan disebut orang bertunangan.
(3) Seserahan: yaitu menyerahkan si jejaka calon pengantin pria kepada calon mertuanya untuk dikawinkan kepada si gadis. Pada acara ini biasa dihadiri oleh para kerabat terdekat, di samping menyerahkan calon pengantin pria juga barang-barang berupa uang, pakaian, perhiasan, kosmetik dan perlengkapan wanita, dalam hal ini tergantung pula pada kemampuan pihak calon pengantin pria. Upacara ini dilakukan 1 atau 2 hari sebelum hari perkawinan atau adapula yang melaksanakan pada hari perkawinan sebelum akad nikah dimulai.
(4) Ngeuyeuk Seureuh: artinya mengerjakan dan mengatur sirih serta mengait-ngaitkannya. Upacara ini dilakukan sehari sebelum hari perkawinan, yang menghadiri upacara ini adalah kedua calon pengantin, orang tua calon pengantin dan para undangan yang telah dewasa. Upacara dipimpin oleh seorang pengetua, benda perlengkapan untuk upacara ini seperti sirih beranting, setandan buah pinang, mayang pinang, tembakau, kasang jinem/kain, elekan, dll semuanya mengandung makna/perlambang dalam kehidupan berumah tangga. Upacara ngeuyeuk seureuh dimaksudkan untuk menasihati kedua calon mempelai tentang pandangan hidup dan cara menjalankan kehidupan berumah tangga berdasarkan etika dan agama, agar bahagia dan selamat. Upacara pokok dalam adat perkawinan adalah ijab kabul atau akad nikah .
2. Upacara Adat Akad Nikah
Upacara perkawinan dapat dilaksanakan apabila telah memenuhi
ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam agama Islam dan adat.
Ketentuan tersebut adalah: adanya keinginan dari kedua calon mempelai
tanpa paksaan, harus ada wali nikah yaitu ayah calon mempelai perempuan
atau wakilnya yang sah, ada ijab kabul, ada saksi dan ada mas kawin.
Yang memimpin pelaksanaan akad nikah adalah seorang Penghulu atau Naib,
yaitu pejabat Kantor Urusan Agama.
Upacara akad nikah biasa dilaksanakan di Mesjid atau di rumah mempelai
wanita. Adapun pelaksanaannya adalah kedua mempelai duduk bersanding
diapit oleh orang tua kedua mempelai, mereka duduk berhadapan dengan
penghulu yang di kanan kirinya didampingi oleh 2 orang saksi dan para
undangan duduk berkeliling. Yang mengawinkan harus wali dari mempelai
perempuan atau mewakilkan kepada penghulu. Kalimat menikahkan dari
penghulu disebut ijab, sedang sambutan dari mempelai pria disebut qobul
(kabul). Setelah dilakukan ijab-qobul dengan baik selanjutnya mempelai
pria membacakan talek, yang bermakna ‘janji’ dan menandatangani surat
nikah. Upacara diakhiri dengan penyerahan mas kawin dari mempelai pria
kepada mempelai wanita.
3. Upacara Adat sesudah akad nikah
a) Munjungan/sungkeman : yaitu kedua mempelai sungkem kepada kedua orang tua mempelai untuk memohon do’a restu.
b) Upacara Sawer (Nyawer): perlengkapan yang diperlukan adalah sebuah bokor yang berisi beras kuning, uang kecil (receh) /logam, bunga, dua buah tektek (lipatan sirih yang berisi ramuan untuk menyirih), dan permen. Pada pelaksanaannya kedua mempelai duduk di halaman rumah di bawah cucuran atap (panyaweran), upacara dipimpin oleh juru sawer. Juru sawer menaburkan isi bokor tadi kepada kedua pengantin dan para undangan sebagai selingan dari syair yang dinyanyikan olehnya sendiri. Adapun makna dari upacara nyawer tersurat dalam syair yang ditembangkan juru sawer, intinya adalah memberikan nasehat kepada kedua mempelai agar saling mengasihani, dan mendo’akan agar kedua mempelai mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan dalam membina rumah tangganya, hidup rukun sampai diakhir hayatnya.
c) Upacara Nincak Endog : atau upacara injak telur yaitu setelah upacara nyawer kedua mempelai mendekati tangga rumah , di sana telah tersedia perlengkapan seperti sebuah ajug/lilin, seikat harupat (sagar enau) berisikan 7 batang, sebuah tunjangan atau barera (alat tenun tradisional) yang diikat kain tenun poleng, sebuah elekan, sebutir telur ayam mentah, sebuah kendi berisi air, dan batu pipisan, semua perlengkapan ini mempunyai perlambang. Dalam pelaksanaannya lilin dinyalakan, mempelai wanita membakar ujung harupat selanjutnya dibuang, lalu mempelai pria menginjak telur, setelah itu kakinya ditaruh di atas batu pipisan untuk dibasuh air kendi oleh mempelai wanita dan kendinya langsung dihempaskan ke tanah hingga hancur. Makna dari upacara ini adalah menggambarkan pengabdian seorang istri kepada suaminya.
d) Upacara Buka Pintu : upacara ini dilaksanakan setelah upacara nincak endog, mempelai wanita masuk ke dalam rumah sedangkan mempelai pria menunggu di luar, hal ini menunjukan bahwa mempelai wanita belum mau membukakan pintu sebelum mempelai pria kedengaran mengucapkan sahadat. Maksud upacara ini untuk meyakinkan kebenarannya beragama Islam. Setelah membacakan sahadat pintu dibuka dan mempelai pria dipersilakan masuk. Tanya jawab antara keduanya dilakukan dengan nyanyian (tembang) yang dilakukan oleh juru tembang.
e) Upacara Huap Lingkung : Kedua mempelai duduk bersanding, yang wanita di sebelah kiri pria, di depan mempelai telah tersedia adep-adep yaitu nasi kuning dan bakakak ayam (panggang ayam yang bagian dadanya dibelah dua). Mula-mula bakakak ayam dipegang kedua mempelai lalu saling tarik menarik hingga menjadi dua. Siapa yang mendapatkan bagian terbesar dialah yang akan memperoleh rejeki besar diantara keduanya. Setelah itu kedua mempelai huap lingkung , saling menyuapi. Upacara ini dimaksudkan agar kedua mempelai harus saling memberi tanpa batas, dengan tulus dan ikhlas sepenuh hati.
Sehabis upacara huap lingkung kedua mempelai dipersilakan duduk di pelaminan diapit oleh kedua orang tua mempelai untuk menerima ucapan selamat dari para undangan (acara resepsi).
a) Munjungan/sungkeman : yaitu kedua mempelai sungkem kepada kedua orang tua mempelai untuk memohon do’a restu.
b) Upacara Sawer (Nyawer): perlengkapan yang diperlukan adalah sebuah bokor yang berisi beras kuning, uang kecil (receh) /logam, bunga, dua buah tektek (lipatan sirih yang berisi ramuan untuk menyirih), dan permen. Pada pelaksanaannya kedua mempelai duduk di halaman rumah di bawah cucuran atap (panyaweran), upacara dipimpin oleh juru sawer. Juru sawer menaburkan isi bokor tadi kepada kedua pengantin dan para undangan sebagai selingan dari syair yang dinyanyikan olehnya sendiri. Adapun makna dari upacara nyawer tersurat dalam syair yang ditembangkan juru sawer, intinya adalah memberikan nasehat kepada kedua mempelai agar saling mengasihani, dan mendo’akan agar kedua mempelai mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan dalam membina rumah tangganya, hidup rukun sampai diakhir hayatnya.
c) Upacara Nincak Endog : atau upacara injak telur yaitu setelah upacara nyawer kedua mempelai mendekati tangga rumah , di sana telah tersedia perlengkapan seperti sebuah ajug/lilin, seikat harupat (sagar enau) berisikan 7 batang, sebuah tunjangan atau barera (alat tenun tradisional) yang diikat kain tenun poleng, sebuah elekan, sebutir telur ayam mentah, sebuah kendi berisi air, dan batu pipisan, semua perlengkapan ini mempunyai perlambang. Dalam pelaksanaannya lilin dinyalakan, mempelai wanita membakar ujung harupat selanjutnya dibuang, lalu mempelai pria menginjak telur, setelah itu kakinya ditaruh di atas batu pipisan untuk dibasuh air kendi oleh mempelai wanita dan kendinya langsung dihempaskan ke tanah hingga hancur. Makna dari upacara ini adalah menggambarkan pengabdian seorang istri kepada suaminya.
d) Upacara Buka Pintu : upacara ini dilaksanakan setelah upacara nincak endog, mempelai wanita masuk ke dalam rumah sedangkan mempelai pria menunggu di luar, hal ini menunjukan bahwa mempelai wanita belum mau membukakan pintu sebelum mempelai pria kedengaran mengucapkan sahadat. Maksud upacara ini untuk meyakinkan kebenarannya beragama Islam. Setelah membacakan sahadat pintu dibuka dan mempelai pria dipersilakan masuk. Tanya jawab antara keduanya dilakukan dengan nyanyian (tembang) yang dilakukan oleh juru tembang.
e) Upacara Huap Lingkung : Kedua mempelai duduk bersanding, yang wanita di sebelah kiri pria, di depan mempelai telah tersedia adep-adep yaitu nasi kuning dan bakakak ayam (panggang ayam yang bagian dadanya dibelah dua). Mula-mula bakakak ayam dipegang kedua mempelai lalu saling tarik menarik hingga menjadi dua. Siapa yang mendapatkan bagian terbesar dialah yang akan memperoleh rejeki besar diantara keduanya. Setelah itu kedua mempelai huap lingkung , saling menyuapi. Upacara ini dimaksudkan agar kedua mempelai harus saling memberi tanpa batas, dengan tulus dan ikhlas sepenuh hati.
Sehabis upacara huap lingkung kedua mempelai dipersilakan duduk di pelaminan diapit oleh kedua orang tua mempelai untuk menerima ucapan selamat dari para undangan (acara resepsi).
E. Upacara Adat Kematian
Pada garis besarnya rangkaian upacara adat kematian dapat digambarkan
sebagai berikut: memandikan mayat, mengkafani mayat, menyolatkan mayat,
menguburkan mayat, menyusur tanah dan tahlilan, yaitu pembacaan do’a dan
zikir kepada Allah swt. agar arwah orang yang baru meninggal dunia itu
diampuni segala dosanya dan diterima amal ibadahnya, juga mendo’kan agar
keluarga yang ditinggalkannya tetap tabah dan beriman dalam menghadapi
cobaan. Tahlilan dilaksanakan di rumahnya, biasanya sore/malam hari
pada hari pertama wafatnya (poena), tiluna (tiga harinya), tujuhna
(tujuh harinya), matangpuluh (empat puluh harinya), natus (seratus
hari), mendak taun (satu tahunnya), dan newu (seribu harinya).
Kronologi Sejarah Sunda
23.47
No comments
Kata
Sunda artinya Bagus/ Baik/ Putih/ Bersih/ Cemerlang, segala sesuatu
yang mengandung unsur kebaikan, orang Sunda diyakini memiliki etos/
watak/ karakter Kasundaan sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Watak /
karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener
(benar), singer (mawas diri), dan pinter (pandai/ cerdas) yang sudah
ada sejak jaman Salaka Nagara tahun 150 sampai ke Sumedang Larang Abad
ke- 17, telah membawa kemakmuran dan kesejahteraan lebih dari 1000
tahun.
Sunda
merupakan kebudayaan masyarakat yang tinggal di wilayah barat pulau
Jawa dengan berjalannya waktu telah tersebar ke berbagai penjuru dunia.
Sebagai suatu suku, bangsa Sunda merupakan cikal bakal berdirinya
peradaban di Nusantara, di mulai dengan berdirinya kerajaan tertua di
Indonesia, yakni Kerajaan Salakanagara dan Tarumanegara sampai ke Galuh,
Pakuan Pajajaran, dan Sumedang Larang. Kerajaan Sunda merupakan
kerajaan yang cinta damai, selama pemerintahannya tidak melakukan
ekspansi untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Keturunan Kerajaan Sunda
telah melahirkan kerajaan- kerajaan besar di Nusantara diantaranya
Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Mataram, Kerajaan
Cirebon, Kerajaan Banten, dll.
Kronologi Sejarah Kerajaan Sunda
Kerajaan
Sunda (669-1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang
berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan
oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah
primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu
kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten,
Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan
naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan
Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi
tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad
ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford
University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah
timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali
Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi
Jawa Tengah.
Tome
Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental (1513 – 1515),
menyebutkan batas wilayah Kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai
berikut: “Sementara
orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa.
Sebagian orang lainnya berkata bahwa Kerajaan Sunda mencakup sepertiga
Pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling Pulau Sunda
tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Ci Manuk.'
Menurut
Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang
saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga
Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan
Sunda oleh Selat Sunda.
Hubungan Kerajaan Sunda dengan Eropa
Kerajaan
Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti
Inggris, Perancis dan Portugis. Kerajaan Sunda malah pernah menjalin
hubungan politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, Kerajaan
Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang
Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai
imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan
Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon (yang memisahkan
diri dari Kerajaan Sunda).
Sejarah
Sebelum
berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bagian dari
Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman
Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga
tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta.
Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi
Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda,
sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri
Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah
Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya,
Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702)
memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Galuh
yang mandiri. dari pihak Tarumanagara sendiri, Tarusbawa juga
menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara. Tarusbawa selanjutnya
memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di
daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan
berjajar. Kurang lebih adalah Kotamadya Bogor saat ini. Sedangkan
Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja
Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka
(kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas
kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di
sebelah timur).
Kerajaan kembar
Putera
Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda,
meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa
ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai
seorang putera, Rahyang Tamperan.
Ibu
dari Sanjaya adalah SANAHA, cucu Ratu Shima dari Kalingga, di Jepara.
Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh ketiga,
teman dekat Tarusbawa.
Sena
adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja
Galuh kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh
oleh PURBASORA. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu,
tapi lain ayah.
Sena
dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan
meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang,
Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk
memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara / Kerajaan Sunda. Dikemudian
hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang
Galuh, dengan bantuan Tarusbawa, untuk melengserkan Purbasora.
Saat
Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di
tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali.
Tahun
732 Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh ke puteranya, Tamperan /
Rarkyan Panaraban. Di Kalingga, Sanjaya memegang kekuasaan selama 22
tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi
Sudiwara, yaitu Rarkyan Panangkaran / Rakai Panangkaran.
Rahyang
Tamperan / RARKYAN PANARABAN berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun
(732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya: Sang Manarah
(dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh serta Sang Banga
(Hariang Banga) di Sunda.
Sang
Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27
tahun (739-766), tapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi
Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai
putera, bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di
Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang.
Karena
anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada
menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi (dari Galuh,
putera Sang Mansiri), yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).
Karena
Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka
kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar
Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819).
Dari
Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang
menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813).
Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu
Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang
oleh RAKRYAN WUWUS (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat
tahun 891.
Sepeninggal
Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh,
Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari
Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke
putranya, Rakryan Windusakti.
Kekuasaan
ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading
(913). RAKRYAN KAMUNINGGADING menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun,
sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916).
RAKRYAN JAYAGIRI berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942.
Melanjutkan
dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh
keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).
Dari
Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya,
Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari
Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri
(973-989).
Rakryan
Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang
(989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019).
Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke
cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri
Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur,
mertua raja Erlangga (1019-1042).
Dari
Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja
(1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi ((1064-1154).
Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri
(1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari
Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya,
Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297).
Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi
kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali
lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.
Sepeninggal
Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar,
Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun
(1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu
Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun(1303-1311), kemudian oleh
keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya
mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke
menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu
Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan
diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357),
yang di ujung kekuasaannya gugur di Bubat (baca Perang Bubat). Karena
saat kejadian di Bubat, putranya -- Niskalawastukancana -- masih kecil,
kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu
Bunisora (1357-1371).
Prasasti Kawali di Kabuyutan Astana Gedé, Kawali, Ciamis.
Sapeninggal
Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana,
Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun
(1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera
Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di
daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal
yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini
dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati.
Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat
ayahnya masih berkuasa di daerah timur.
Dari
Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera
Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di
daerah Galuh (1475-1482).
Susuktunggal
dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan
Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra
Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh
Jayadéwata (yang bergelar Sri Baduga Maharaja). Sapeninggal Jayadéwata,
kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535),
kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551),
Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu
Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin
kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang
oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, kerajaan Sunda
lainnya, di tahun 1579, yang mengalibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana
dan Kerajaan Pajajaran runtuh.
Sebelum
Kerajaan Pajajaran runtuh Prabu Surya Kancana memerintahkan ke empat
patihnya untuk membawa mahkota kerajaan beserta anggota kerajaan ke
Sumedang Larang yang sama- sama merupakan keturunan Kerajaan Sunda untuk
meneruskan pemerintahan.
Kerajaan
Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama
Hindu, yang didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah
Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor.
Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang
mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung
yang berlokasi di Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja (Tembong artinya
nampak dan Agung artinya luhur, memperlihatkan ke Agungan Yang Maha
Kuasa) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Prabu Guru
Aji Putih memiliki putra yang bernama Prabu Tajimalela dan kemudian pada
masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti
menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun
madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil
dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang
yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal
dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan
Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.
Pemerintahan berdaulat
Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)
Prabu
Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap
sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama
Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang
Kecamatan Darmaraja). Beliau punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung,
Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.
Berdasarkan
Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua
putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi
raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak
bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian
kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya
diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya).
Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda
(duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau
membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau
dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi
wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung
tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga
Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela.
Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung
dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan pera
keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan
keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.
Setelah
Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling.
Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang
putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan
mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang
melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan
Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan
Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu
Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda,
putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas
Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata
(1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu
dengan gelar Ratu Pucuk Umun.
Ratu
Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Santri, julukan Pangeran Santri
karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim.
Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang
Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang
Larang.
Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri
Pada
pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai
perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan
raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi
Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan
memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam
di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana
Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang
ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan
agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan
Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun
atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun,
ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.
Prabu Geusan Ulun
Prabu
Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan
ayahnya, Pangeran Santri. Beliau menetapkan Kutamaya sebagai ibukota
kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah
kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi
(Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu
Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya,
agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608,
putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol
I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan
kepemimpinannya.
Pada
masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh
Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan
Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama
Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada
saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum
meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan
Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat
Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga
Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja
Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti
benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih
tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang). Kandaga Lante yang
menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah
Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang
Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Walaupun
pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten
(wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan
diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat
dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan
Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas.
Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai
Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut
Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.
Secara
politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu
Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan
pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi;
pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan
Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa
itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak
kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada
Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun
menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram. Prabu Geusan Ulun
merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya
menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).
Raja-raja Kerajaan Sunda dari Salaka Nagara s/d Sumedang Larang
Di
bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut
naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):
Periode Salaka Nagara dan Taruma Nagara (Dewawarman - Linggawarman, 150 - 669).
0. Dewawarman I - VIII, 150 - 362
1. Jayasingawarman, 358-382
2. Dharmayawarman, 382-395
3. Purnawarman, 395-434
4. Wisnuwarman, 434-455
5. Indrawarman, 455-515
6. Candrawarman, 515-535
7. Suryawarman, 535-561
8. Kertawarman, 561-628
9. Sudhawarman, 628-639
10. Hariwangsawarman, 639-640
11. Nagajayawarman, 640-666
12. Linggawarman, 666-669
Periode Kerajaan Galuh - Pakuan - Pajajaran - Sumedang Larang
1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)
2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
3. Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
4. Rakeyan Banga (739 - 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
10. Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
13. Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
15. Munding Ganawirya (964 - 973)
16. Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
17. Brajawisésa (989 - 1012)
18. Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
19. Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
32. Prabu Bunisora (1357-1371)
33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
35. Prabu Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38. Prabu Sakti (1543-1551)
39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
41. Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M)
Sumber:
-
Herwig Zahorka, The Sunda Kingdoms of West Java, From Taruma Nagara to
Pakuan Pajajaran with Royal Center of Bogor, tahun 2007.
- Saleh Danasasmita, Sajarah Bogor, Tahun 2000
- Ayatrohaedi: Sundakala, Cuplikan Sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Pustaka Jaya, 2005.
- Aca. 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung.
- Edi S. Ekajati. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-329-1
- Yoséph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Geger Sunten, Bandung.
Langganan:
Postingan (Atom)